Jakarta – Pemerintah Republik Indonesia saat ini tengah berupaya untuk mewujudkan kodifikasi hukum acara perdata yang bersifat unifikasi nasional, sebagai sebuah sistem hukum nasional.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna H. Laoly mengatakan untuk membangun sistem tersebut, perlu dilakukan penataan kembali materi hukum acara perdata yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Yasonna mengatakan selain melakukan penataan ulang materi hukum acara perdata, penting juga untuk menginventarisir substansi yang terkait dengan hukum acara perdata untuk memenuhi perkembangan kebutuhan masyarakat.
Salah satu caranya yaitu dengan menambah norma maupun mempertegas kembali pengaturan yang sudah ada.
“Sebagai penyempurnaan terhadap hukum acara perdata yang ada dan berlaku saat ini, terdapat norma penguatan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Acara Perdata,” kata Yasonna saat menghadiri Rapat Kerja antara Komisi III DPR RI dan pemerintah dalam rangka pembahasan RUU tentang Hukum Acara Perdata.
Beberapa norma yang dimaksud menkumham antara lain menyangkut pihak-pihak yang menjadi saksi dalam melakukan penyitaan; jangka waktu pengiriman permohonan kasasi, memori kasasi, dan kontra memori kasasi; kepastian waktu pengiriman salinan putusan kasasi ke PN; juga kepastian waktu pengiriman salinan putusan kasasi ke para pihak.
“Norma lainnya meliputi syarat dan kondisi ketika Mahkamah Agung (MA) ingin mendengar sendiri para pihak atau para saksi dalam pemeriksaan kasasi; penguatan batas waktu pengiriman berkas perkara PK ke MA; reformulasi pemeriksaan perkara dengan acara singkat; pemeriksaan perkara dengan acara cepat, dan reformulasi jenis putusan,” kata Yasonna di Ruang Rapat Komisi III DPR RI.
Penambahan norma yang muncul atas adanya kebutuhan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, lanjut Yasonna, antara lain mencakup dua hal yaitu pemanfaatan teknologi dan informasi dan pemeriksaan perkara dengan acara cepat.
“Pemanfaatan teknologi informasi pada saat pemanggilan pihak yang berperkara dapat dilakukan secara elektronik, juga pengumuman penetapan,” jelas Yasonna, Rabu (16/02/2022) pagi.
“Pemanfaatan teknologi dan informasi ini dapat mempersingkat waktu, mempermudah akses, dan data pemanggilan pihak yang berperkara secara otomatis dapat tersimpan dalam sistem informasi,” lanjutnya.
Selanjutnya menyangkut kemudahan berusaha (ease of doing business – EODB), bukan hanya dipengaruhi regulasi dan perizinan, tetapi juga waktu tunggu yang dihabiskan dalam menyelesaikan perkara di pengadilan.
“Pemeriksaan perkara dengan acara cepat, pembuktiannya dilakukan dengan cara pembuktian sederhana. Dalam pembuktian sederhana, terhadap dalil gugatan yang diakui dan/atau tidak dibantah oleh tergugat, tidak perlu dilakukan pembuktian,” ucap menkumham.
“Terhadap dalil gugatan yang dibantah, hakim melakukan pemeriksaan pembuktian. Pengadilan memutus perkara dengan acara cepat dalam waktu paling lama 30 hari dan putusan pengadilan dengan acara cepat tidak dapat diajukan upaya hukum apapun,” tutupnya.
Dalam rapat kerja yang berlangsung tak lebih dari 90 menit ini, juga dihadiri oleh sejumlah pakar hukum, seperti Prof. Herowati Poesoko dan Dr. Khoidin dari Universitas Jember, Prof. Basuki Rekso Wibowo dari Universitas Airlangga, Prof. Tata Wijayanta dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Yussy Adelina Mannas dari Universitas Andalas, M. Hamidi Masykur dari Universitas Brawijaya, dan mantan hakim Asep Iwan Iriawan. (KHI*)